Thursday, July 17, 2008

AED Campaign Makes Illegal Logging an Election Year Issue in Indonesia

Autor by : AED
Illegal logging is decimating Indonesia’s forests and robbing its citizens of billions of dollars a year in lost revenue. If it continues at its current rate, Indonesia’s wild forests— home to endangered species such as the Orangutan and Clouded Leopard and a vital source of clean air and water —could disappear within ten years.

In order to generate more attention to the issue, and spur more action among the people of Indonesia, AED designed a targeted campaign that revolved around the public’s moral concerns about corruption, economic injustice and poor governance rather than emphasize environmental problems which are more removed from everyday life for many Indonesians.

AED worked with a coalition of local Indonesian organizations to shine a light on illegal logging during an important election year, and to urge citizens to take action by voting for political parties and candidates who condemned illegal logging.

“The key message was: Your country is being robbed of billions of dollars a year while children live on the streets with little education and inadequate healthcare,” said Sue Lomenzo, the director of the GreenCOM project in the AED Center for Environmental Strategies. “The social marketing expertise AED brought to the project enabled us to make the connection in a way that resonated locally that this environmental issue is also a social issue.”

According to the Department of Forestry, Indonesia is losing $3.7 billion a year in revenue because of illegal logging. Moreover, the gains from illegal logging fuel further corruption and create incentives for bad policies and lawlessness. Meanwhile, Indonesia is lacking the funds it needs to provide adequate health care and education.

Three-Pronged Approach

Based on social marketing research, AED developed a three-pronged program to address the issue of illegal logging. The project was funded by USAID, as part of GreenCOM, a global program to promote environmentally sustainable behaviors and practices. It included partners from non-governmental organizations and government agencies.
First, a mass-media campaign was launched creating a national call to action. A public service announcement entitled “Stop Forest Robbery” appeared on television, in print, and aired on the radio. National newspapers carried environmental inserts and 23 television and radio talk shows featured discussions of illegal logging with live audience participation. The campaign prompted hundreds of people to call a toll-free number for more information on the problem.

To help rural and indigenous communities contribute to the effort against illegal logging, AED created a small grants program for grassroots organizations. One such grant was used by farmers, police, and forestry officials in Sumatra to enable the three groups to work together to curb the detrimental effects of illegal logging on local irrigation systems.

An environmental group used a grant to create a video documenting the impact illegal logging has on local communities. And another grant was used to fund a series of radio talk shows on the effects of illegal logging in West Kalimantan.

In order to build public momentum and further develop local capacity for future campaigns, AED created a series of training workshops. Seventy-six local groups participated in environmental communications training, and 58 journalists were trained in environmental and investigative journalism.

Citizen Participation

Recently, Indonesia underwent a political shift away from a dictatorship and toward a democratic society. And in 2004, the country participated in its first fully democratic election in more than 30 years.

As a result of AED’s efforts in the months leading up to the election, illegal logging was covered extensively in the media Ninety percent of registered voters surveyed at the end of the campaign ranked illegal logging as an important issue in their choice of a presidential candidate.

“AED was able to help advance Indonesia's on-going process of democratization and political reform by enabling effective citizen action on a critical environmental issue." Agus Widianto, a project officers with USAID/Indonesia.

By incorporating mass media, partnerships with local groups, and training, and putting the issue into a more relevant social context, AED enabled Indonesians to better hold their elected official accountable for the decimation of their forests, and the loss of revenue for the country.

“Advocacy as we think of it in the U.S. is not commonplace in Indonesia,” said Lomenzo. “This ‘environmental’ project actually helped move the country toward a more vibrant civil society.”




Minta Ganti Rugi Rp900 Juta


Jumat, 26 Januari 2007
Nelayan Demo DPRD dan Pemko

BATAM CENTRE-Nelayan yang tinggal di sepanjang pantai Batam Centre dan Nongsa menuntut Pemko Batam memberikan ganti rugi kepada mereka senilai Rp900 juta. Ganti rugi itu sebagai kompensasi atas tercemarnya laut tempat mereka mencari ikan oleh minyak hitam (sludge oil) yang tergolong bahan beracun dan berbahaya.

Tuntutan itu disampaikan sekitar 50 orang nelayan pada demonstrasi yang digelar di Kantor DPRD Kota Batam dan Kantor Walikota Batam, Kamis (25/1). Pada aksi unjuk rasa tersebut, para nelayan didampingi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Amdal yang diketuai oleh Lebrata.

Dalam orasinya, para pengunjukrasa menyatakan ribuan nelayan terpaksa berhenti melaut sejak beberapa hari lalu, menyusul tercemarnya laut tempat mereka mencari ikan. Mereka mengaku yang berasal dari Sambau, Kampung Terih, Nongsa Pantai, Kampung Pantai Belian dan Kampung Tua Belian.

Aksi damai yang dimulai pada pukul 10.00 WIB tersebut diawali dari Kantor DPRD Kota Batam. Saat tiba di halaman gedung dewan ini, rombongan nelayan langsung berorasi, menumpahkan keluh kesah atas persoalan pencemaran laut yang mereka hadapi sejak beberapa pekan belakangan.

Mereka meminta DPRD Kota Batam memperjuangkan nasib nelayan yang terkena imbas tumpahan minyak hitam serta meminta DPRD untuk membantu nelayan meminta santunan kepada Pemko Batam.

Nelayan membawa tiga helai pakaian yang belepotan minyak hitam serta membawa spanduk yang berisikan permintaan memecat Kepala Bapedal Kota Batam Mawardi Badar serta mencabut izin tiga perusahaan tank cleaning yang ada di Batam

Para demonstan disambut Ketua Komisi III DPRD Kota Batam Edi Robert dan anggota Komisi I DPRD Kota Batam Ruslan Kasbulatov.

"Sampai hari ini, tumpahan minyak hitam itu belum juga dibersihkan. Akibatnya kami tidak bisa melaut. Kalau pun memaksa ke laut hasilnya pun nihil. Jadi hanya pecuma saja. Peralatan untuk menangkap ikan kami semuanya terkena minyak hitam, baik perahu ataupun jala untuk menangkap ikan. Kami para nelayan selama ini sangat menggantungkan hidup kami dari hasil laut. Jika kami tidak bisa melaut kami mau makan apa?" ujar Ketua RW 01 Kampung Belian Tua Rusiman Amir mengadu kepada anggota DPRD Kota Batam, Kamis ( 25/1).

Rusiman menyebutkan bahwa dirinya bersama dengan para nelayan lainnya meminta agar Pemko Batam memberikan santunan kepada mereka sebagai bekal bagi mereka untuk bertahan hidup. Pasalnya selama limbah minyak hitam tersebut tidak dibersihkan maka para nelayan tetap tidak bisa melaut.

Permintaan yang sama juga di lontarkan oleh Ketua LSM AMDAL Lebrata yang meminta pemko sebagai pihak yang bertanggungjwab dengan terjadinya tumpahan minyak hitam tersebut. Hal ini disebabkan karena Bapedal Kota Batam tidak bisa melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya.

"Kita minta agar pemko bersedia memberikan santunan kepada para nelayan yang terkena dampak minyak hitam serta meminta agar izin tiga perusahaan tank cleaning dicabut. Karena DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat. Kami minta agar DPRD memfasilitasi keinginan dari para nelayan ini," ucapnya.

Sementara itu Ketua Komisi III DPRD Kota Batam Edi Robert mengungkapkan, kaget dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh warga kampung belian. Pasalnya ketika dilakukan sidak tumpahan minyak hitam tersebut hanya mengenai tumbuhan bakau yang ada di tepi pantai dan tidak lagi tersebar di laut. Ia tidak menduga jika tumpahan minyak hitam tersebut sudah memiliki dampak yang sangat parah kepada para nelayan apalagi sampai menyebabkan para nelayan tidak bisa melaut.

"Saya tidak menyangka jika dampak yang dikenakan dari tumpahan minyak hitam tersebut sudah semakin parahnya sampai- sampai para nelayan tidak bisa melaut. Besok saya dan Kepala Bapedal akan turun lagi ke lokasi," katanya.

Pentolan dari Partai Golkar ini juga menegaskan bahwa Pemko Batam tidak dibenarkan mengeluarkan izin tank cleaning di Batam. Jika hal itu terbukti maka Walikota Batam diminta bersikap tegas kepada pegawainya yang telah mengeluarkan izin tank cleaning tersebut.

"Izin tank cleaning itu sama sekali tidak dibenarkan dikeluarkan di Batam. Jika ada perusahaan tank cleaning yang mendapat izin di Batam kita patut pertanyakan izinnya dari mana saja. Kalau yang mengelurkan Pemko Batam maka kita minta agar Walikota dapat bersikap tegas kepada bawahannya yang mengeluarkan izin tersebut," tuturnya.

Sementara itu anggota komisi I DPRD Kota Batam Ruslan Casbulatov menyebutkan agar perwakilan masyarakat yang terkena dampak minyak hitam membuat laporan kepada pihak kepolisian.

Di Pemko Batam

Selesai menggelar demo di Kantor DPRD Kota Batam, rombongan nelayan langsung melanjutkan unjuk rasa ke Kantor Walikota Batam. Setelah beberapa menit berorasi, mengacungkan spanduk dan poster, para pendemo diterima oleh Kepala Bapedalda Kota Batam Mawardi Badar.

Pada pertemuan itu Ketua LSM Amdal, Lebbrata mengatakan apa yang menjadi tuntutan masyarakat nelayan tersebut belum berarti, jika dibandingkan dengan kerugian yang mereka terima. Nelayan tidak bisa melaut, sehingga mereka terpaksa berutang ke mana-mana untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Kita minta ganti rugi kepada pemerintah, Rp50 ribu per hari, dikalikan 90 hari. Ada 200 nelayan yang didampingi LSM Amdal. Itu perhitungan kerugian para nelayan," ujar Lebrata di dewan Mawardi Badar dan stafnya.

Dalam kesempatan yang sama, selain menuntut ganti rugi, Lebrata juga menyampaikan tuntutan agar Pemko Batam melalui Bapedalda Kota Batam mencabut izin tiga agen tank cleaning (pencucian kapal) yang ada di Kota Batam, yang diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran laut tersebut. Karena selama ini agen tank cleaning dianggap tidak bisa memperhatikan kebersihan lingkungan laut.

Sementara itu, Kepala Bapedalda Mawardi Badar mengatakan dirinya tidak bisa menjawab soal tuntutan ganti rugi dari masyarakat nelayan Rp50 ribu per hari selama tiga bulan. Karena untuk itu, dirinya harus menyampaikannya ke Walikota Batam terlebih dahulu, dan melakukan pembahasan secara bersama.

Namun yang pasti ditegaskan Mawardi, pihaknya telah melakukan penanganan awal terhadap limbah sludge oil yang mencemari sejumlah kawasan pantai di Kota Batam. Bahkan sejak tanggal 16 Januari ketika dilaporkan persoalan tersebut, pihaknya langsung turun ke lapangan. Meskipun hingga saat ini Tim Investigasi belum dibentuk, namun tim penanganan dari Bapedalda sudah melakukan identifikasi awal.

Namun yang pasti sebut Mawardi, tiga agen tank cleaning yakni Bastec yang beralamat di Sekupang Logistik, PLIB yang beralamat di dekat UIB dan Gamter yang beralamat di Kabil Tongkang, semuanya resmi dan memiliki izin dari Kantor Pelabuhan serta Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Tidak ada tank cleaning yang liar.

"Asumsi awal kita datangnya limbah tersebut berasal dari bawaan musim utara. Bisa saja dari perairan Malaysia dan Singapura. Tapi sampai sat ini kita belum bisa memastikannya. Masih harus diinvestigasi. Yang pasti, kita terus melakukan penanganan serius. Soal ganti rugi, kita bahas dulu dengan pak Walikota," jelas Mawardi.

Kejar Pembuang Limbah

Sementara Direktorat Reserse dan Kriminal (Dit Reskrim) Polda Kepri telah mengambil keterangan dari tiga perusahaan resmi yang melakukan pengerjaan tank cleaner di sekitar perairan Batam. Ketiga perusahaan yang wakili masing-masing pimpinan diambil keterangannya tersebut yakni PT PLIB, PT gamter dan PT BSS Tec.

"Kita baru pada tahapan untuk mengambil keterangan dari perusahaan yang biasa menangani tank cleaning," kata Direktur Reskrim Polda kepri, Kombes Basaria Panjaitan, di Mapolda Kepri, kemarin.

Sebelum dibentuknya tim yang merupakan gabungan dari beberapa instansi ini, katanya, kepolisian telah mengambil langkah penyidikan awal dengan melakukan pemeriksaan ke perusahaan yang menangani tank cleaning.

"Setidaknya ada tiga perusahaan tank cleaning yan sudah kita ambil keterangannya untuk menindak lanjuti limbah pencemaran peraiaran Batam," ujarnya. (sm/as/ra/ed)

Seminar LSM Bilik Disorot


Rabu, 14 Pebruari 2007
Bahas soal Pasir Laut Kepri di Jakarta

BATAM-Seminar dengan topik "Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Berkelanjutan" yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bina Lingkungan (Bilik) Batam di Hotel Terepa Menteng, Jakarta, Sabtu (10/2) disorot oleh LSM Amdal dan HNSI Kota Batam. Pasalnya LSM Bilik dan Drh Agustar MSi yang menjadi salah seorang pembicara di dalam seminar itu mewacanakan pengerukan pasir laut untuk ekspor di Kepri.

"Terus terang seminar yang digelar LSM Bilik yang dikoordinatori oleh Dendi Purnomo ini menimbulkan pertanyaan bagi kami. Mengapa seminar yang membicarakan tentang pasir laut Kepri justru digelar di Jakarta. Ada apa ini. Sedangkan penyelenggara adalah orang Batam dan peserta juga banyak dari Batam dan Kepri umumnya. Kenapa justru diadakan di Jakarta. Ini sangat mencurigakan," kata Ketua LSM Amdal Lebrata kepada Sijori Mandiri, Selasa (13/2) melalui sambungan telepon yang mengaku sebagai salah seorang dari 21 peserta seminar.

Menurut Lebrata, sebelum seminar itu digelar oleh LSM Bilik, dia juga mendapatkan informasi ada pembahasan intens yang dilakukan pengusaha pasir laut terkait dengan wacana akan diusulkannya kembali eksploitasi pasir laut di Kepri. Dan ia sangat kaget ketika pada seminar LSM Bilik itu ternyata yang dibicarakan hal yang sama.

Menurut Lebrata ada tiga pembicara yang tampil pada seminar itu. Pembicara tersebut adalah Prof Tridoyo dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr Agung dari Universitas Diponegoro (Undip) serta Drh Agustar MSi yang nota bene adalah staf ahli Gubernur Kepri Ismeth Abdullah.

Dua pembicara yang berasal dari ITB dan Undip berbicara dari sisi ilmiah tentang pelestarian laut dan pulau kecil. Kedua pembicara itu menurut Lebrata membagikan makalahnya kepada 21 orang peserta yang kebanyakan LSM.

Sementara Drh Agustar MSi yang selama ini dikenal sebagai pengamat politik dan pernah menjadi Ketua KPUD Kota Batam, pada seminar tersebut justru berbicara tentang rencana pendalaman sejumlah alur laut di Kepri yang sudah mulai dangkal. Tapi Agustar tidak membagikan makalahnya kepada peserta seminar. Agustar menurut Lebrata, juga menyinggung kalau pasir hasil pengerukan untuk pendalaman alur laut di Kepri itu memiliki potensi ekonomi yang bisa diekspor ke luar negeri.

"Jadi kita mencurigai ada skenario untuk mengekspor pasir laut dengan alasan memperdalam alur laut di Kepri yang sudah mulai dangkal. Saya merasa ini skenario LSM Bilik. Yang jelas saya dari LSM Amdal menolak keras wacana tersebut," kata Lebrata.

Sementara Ketua DPC HNSI Kota Batam Hermawan SH yang juga diundang pada seminar itu mengaku sebagai orang yang pertama protes dan mempertanyakan ada apa sebenarnya dengan seminar tersebut. Ia menolak adanya rencana pengerukan pasir laut di Kepri yang akan diekspor dengan alasan akan memperdalam alur kapal di sejumlah titik di kepri yang mulai dangkal.

"Saya menolak wacana atau rencana untuk mengeksploitasi kembali pasir laut di Kepri. HNSI ingin bagaimana ada upaya perbaikan dan pelestarian terhadap terumbu karang yang telah rusak selama ini akibat pengerukan pasir untuk kepentingan ekspor," kata Hermawan.

Menurut Hermawan banyak hal yang patut dipertanyakan dari seminar yang dilaksanakan LSM Bilik tersebut. Pertama, tentang tempat penyelenggaraan kok harus di Jakarta. Kedua, kok yang dibicarakan tentang rencana eksploitasi pasir laut atau pendalaman alur laut Kepri padahal jelas-jelas dilarang pemerintah. Ketiga, kapasitas Drh Agustar MSi sebagai staf ahli gubernur yang bukan orang lingkungan. Keempat dari mana biaya penyelenggaran seminar itu oleh LSM Bilik. Kelima, seakan-akan seminar itu sengaja dihindari dari pers.

Diskusi Internal

Sementara itu Koordinator LSM Bilik Dendi Purnomo yang juga pegawai di Otorita Batam ketika dikonfirmasi membenarkan adanya seminar di Hotel Terepa yang diselenggarakan oleh LSM Bilik yang ia pimpin. Ketika diminta penjelasan lebih lengkap mengenai seminar itu, Dendi meminta Sijori Mandiri untuk bertemu langsung dengan dirinya agar kegiatan seminar itu bisa langsung dijelaskannya secara detail.

"Sebaiknya kita besok (Selasa, 13/2) langsung bertemu saja. Karena tak bisa saya jelaskan melalui telepon," kata Dendi melalui telepon, Senin (12/2).

Ketika dihubungi kembali kemarin untuk dikonfirmasi, Dendy mengaku sibuk karena ada rapat mendadak dan mewakilkan kepada Sekretaris LSM Bilik, Haris Muryasani untuk memberikan penjelasan.

Haris ketika ditemui di salah satu kantor di Pusat Perkantoran Firts City Batam Centre mengatakan pada perencanaan semula seminar di Hotel Terepa Menteng Jakarta itu sebetulnya hanya bersifat internal LSM Bilik saja. Namun kemudian berkembang dan diusulkan agar melibatkan LSM-LSM lainnya.

Mengapa harus diadakan di Jakarta? Hal itu sudah biasa bagi LSM Bilik karena itu sudah yang keempat kalinya LSM Bilik melakukan hal yang sama di Jakarta.

Haris membantah kalau pertemuan itu ada membicarakan soal eksploitasi pasir laut. Menurutnya yang dibicarakan oleh Prof Tridoyo dari ITB dan DR Agung dari Undip adalah tentang pelestarian laut dan pulau-pulau kecil.

"Kalau mau tau hasilnya, tunggu saja hasil rangkuman dan masukan dari masing-masing peserta," kata Haris yang didampingi Siska Ketua Bidang Litbang.

Haris sama sekali tidak mengungkapkan kalau Agustar juga sebagai pembicara dalam seminar itu. Ketika ditanya sumber dana seminar, karena semua peserta ditanggung biaya transportasi, penginapan dan akomodasi lainnya, Haris mengatakan uang itu adalah kas LSM Bilik yang disumbangkan 86 orang anggota LSM Bilik yang setiap tahunnya menyumbang Rp1 juta per orang.

Calon Kepala Bapedalda Batam

Pada bagian lain, Koordinator LSM Bilik Dendi Purnomo menurut Ketua DPC HNSI Kota Batam Hermawan SH adalah kandidat kuat yang akan mengisi jabatan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kota Batam. Dendi akan menggantikan Mawardi Badar.

Mengetahui LSM Bilik menjadi fasilitator terhadap seminar yang membahas tentang wacana dan rencana tentang ekploitasi pasir laut, maka Hermawan berecana akan mengirim surat ke Gubernur Kepri dan Walikota Batam agar rencana penunjukan Dendi menjadi Bapedalda Kota Batam ditinjau kembali.

"Orang yang menjabat sebagai Kepala Bapedalda harus orang-orang yang peduli terhadap lingkungan. Kalau tidak pencemaran dan kerusakan alam dan lingkungan akan semakin parah," kata Hermawan. (sm/ye)

  © Blogger template 'Tranquility' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP